Sungguh malang nasib ibu-ibu yang menjadi konsumen minyak kita. Betapa tidak, di tengah trend harga sejumlah kebutuhan pokok merangkak naik, masih harus menanggung derita kerugian akibat takaran minyak goreng yang dibeli tidak sesuai ketentuan. Hasil pemantauan satuan tugas pangan sejumlah daerah, menunjukkan takaran minyak kita dalam kemasan botol isi 1000 ml dari beberapa produsen tidak sesuai ukuran semestianya. Tidak hanya itu, minyak goreng kemasan sederhana yang merupakan program minyak goreng murah itu pun dijual dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditentukan pemerintah sebesar Rp 15.700 untuk kemasan isi 1000 ml. Alih-alih berisi 1 liter seperti tertera pada label kemasan, justru volume minyak goreng tersebut hanya 750 – 800 ml. Sementara untuk harga eceran konsumen harus mengeluarkan ongkos Rp 16.500 s/d Rp 18.000 per liter, diatas HET yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 15.700 per liter.
Minyak Kita merupakan minyak goreng kemasan sederhana dalam program minyak goreng Rakyat. Varian kemasan beragam, mulai dari 500 ml, 1000 ml dan 2.000 ml. Tersdia dalam kemasan botol dan kantong plastic (pouch). Sumber pasokan minyak kita berasal dari para eksportir minyak sawit mentah dan sejumlah produk turunannya yang terkena kewajiban memasok kebutuhan domestik minyak goreng.
Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, praktik culas sejumlah produsen dan pedagang, Minyak Kita secara terang benderang melanggar ketentuan pasal 8 ayat (1) huruf c dimana pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 62 ayat (1) masih dalam undang-undang Perlindungan konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 milyar.
Selain mencurangi para konsumen, kasus takaran palsu Minyak Kita juga menunjukkan kegagalan fungsi pengawasan sampai tiga lapis sekaligus. Ketiga tingkat kegagalan pengawasan tersebut adalah :
Lapis pertama, pengawasan pada level produsen. Sebelum produk masuk pasar, terdapat yang namanya pre-market control. Terdapat bagian quality control yang memastikan bahwa sebelum produk masuk pasar maka produk tersebut telah sesuai dengan spesifikasi pabrikan dan memenuhi standar/ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Kemudian setiap batch produksi harus ada sampel produk untuk arsip. Ketika di lapagan atau pasar ditemukan produk yang tidak sesuai atau catat maka produsen tinggal mengecek arsip sampel yang ada di pabrik dengan tujuan untuk memastikan apakah penyimpangan tersebut terjadi dalam proses produksi atau pada rantai distribusi setelah produk keluar pabrik.
Lapis kedua, pengawasan oleh pemerintah. Khusus untuk pengawasan dengan alat ukur menjadi kewengan pemerintah yaitu dinas metrologi di Pemerintahan Kota/Kabupaten. Bentuk aksi pengawasan adalah secara periodik mengambil sampel produk dari pasar, untuk selanjutnya di periksa/diuji, apakah produk tersebut sesuai dengan ijin yang diberikan kepada produsen, baik dari sisi isi/volume takaran, komposisi dan informasi nilai gizi yang terkait dengan makanan. Kegiatan pengawasan dalam bentuk regular seperti inspeksi lapangan, apabila dilakukan secara rutin dapat mendeteksi adanya produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi sebagaimana ijin/registrasi yang diberikan kepada produsen. Namun faktanya, dengan alasan keterbatasan anggaran atau tepatnya tidak adanya komitmen politik anggaran dalam perlindungan konsumen maka kegiatan pengawasan tersebut tidak dilakukan. Sejumlah Pemerintah Kota/Kabupaten yang sudah mengalokasikan anggaran maka untuk regular inspesi jauh dari memadai.
Lapis ketiga, pengawasan oleh Masyarakat. Kasus takaran palsu minyak kita ini juga sekaligus menunjukkan betapa masih rendahnya kesadaran konsumen untuk bersikap kritis ketika melakukan transaksi. Hal ini sekaligus kritik bagi Lembaga Konsumen yang ada selama ini, agar secara periodik juga melakukan survey/monitoring terhadap produk yang beredar di Masyarakat.
Kasus takaran palsu Minyak Kita juga masih menyisakan pertanyaan, masih relevankan kebijakan HET dipertahankan? Intervensi pemerintah dalam bentuk penetapan harga tidak banyak dilakukan oleh negara lain. Mengapa? Karena mereka sadar, dalam struktur pasar yang terbuka dan kompetitif, harga suatu komoditas itu sesuatu yang cair/liquid dan tidak mungkin diikat secara ketat. Dibutuhkan effort yang sangat besar untuk bisa mengikat harga suatu komoditas secara ketat. Malaysia misalnya, melalui Price control Act maka pilihan kebijakannya berupa pengawasan harga. Apabila harga suatu komoditas mengalami kenaikan secara ekstrim maka pemerintah akan memanggil pelaku usaha untuk memberikan alasan dan penjelasan dibalik kenaikan harga tersebut. Apabila penjelasan pelaku usaha dapat diterima pemerintah masuk kategori bukan pelanggaran hukum. Namun apabila alasan kenaikan harga tidak dapat diterima pemerintah maka termasuk kategori tindak pidana di bidang ekonomi dan pelaku usaha bisa dikenakan hukuman. Dari sedikit negara yang memiliki pilihan kebijakan penetapan harga adalah India. Melalui essential commodity act, apabila suatu komoditas masuk kategori essential commodity maka ada tiga bentuk intervensi pemerintah pada komoditas tersebut, yaitu produksi, distribusi dan pricing policy.
Bagaimana dengan komoditas minyak goreng di Indonesia. Dalam pasar minyak goreng di Indonesia mempunyai dua jenis, yaitu :
- Minyak goreng komersial, disediakan oleh swasta, penetapan harga oleh swasta, struktur pasar kompetisi.
- Minyak goreng rakyat yaitu berupa Minyak Kita yang merupakan program pemerintah, bersumber dari pasokan bahan baku dari perusahaan eksportir minyak sawit pemerintah dan harga ditetapkan pemerintah.
Ada dua catatan kritis terkait kebijakan HET Minyak Kita, yaitu :
- Di satu sisi pemerintah menetapkan HET, tetapi pada saat yang sama, pemerintah tidak menguasai komoditas Minyak Kita. Idealnya jika pemerintah menetapkan HET suatu komoditas maka sebaiknya pemerintah juga menguasai komoditas tersebut, sehingga pemerintah bisa menjamin pasokan dan sekaligus juga bisa menjamin harga komoditas.
- Pemerintah intervensi menetapkan HET Minyak Kita, namun pemerintah tidak intervensi pada sisi produksi dan distribusi, sehingga pemerintah tidak bisa menjaga harga minyak kita pada level HET.
Semoga penjelasan diatas dapat membantu Anda memahami kondisi carut marutnya tata kelola peredaran Minyak Kita terutama menyangkut takaran dan HET produknya.
Penulis :
Sudaryatmo, lahir di Klaten (1965), saat ini tinggal di Tajurhalang Kabupaten Bogor. Alumni Fakultas Hukum Undip angkatan Tahun 1991, saat ini sebagai Anggota Pengurus Harian YLKI dan Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Mau cari info dan artikel lainnya tentang kegiatan alumni UNDIP? klik disini
Mau cari rekan-rekan alumni di database alumni UNDIP? klik disini
Mau mendaftar di database alumni UNDIP? klik disini
Mau menghubungi atau mengirim informasi ke sekretariat IKA UNDIP? hubungi [email protected]